Hamparan sawah menghijau dihiasi berjejernya pohon kelapa di samping kanan kiri.
Sungguh unik pemandangan hari itu. Ketika petani-petani Bali mengolah lahannya secara tradisional disertai nyanyian kecil dan siulan tak bermakna namun menghibur. Seolah tak ada pemikiran untuk selalu ingin lebih dan hanya terlihat rasa syukur yang mendalam atas limpahan rahmat Tuhan. Mungkin beberapa tahun lagi penggalan kisah itu akan menjadi sejarah untuk para generasi muda Bali.
Bagaimana tidak gemerlap. Dunia pariwisata Bali semakin gila memaksa lahan-lahan produktif tanah Bali. Pariwisata mengubah lahan pertanian dan sumber pangan menjadi vila liar ataupun hotel mewah yang menjanjikan. Lalu, generasi selanjutnya mulai meninggalkan pekerjaan berkotor-kotor di tengah sawah dengan peghasilan pas-pasan. Alasannya, industri pariwisata lebih menjanjikan. Dia bisa menyulap orang dekil menjadi bak turis asing.
Dengan alasan itulah “globalisasi”, perkembangan zaman yang harus kita ikuti. Tentu saja bukan alasan tidak masuk akal. Tapi, memang itulah perubahan.
Ketika suatu saat nanti ada pertanyaan, pura apa itu yang berdiri di samping art shop yang megah itu? Ternyata itulah yang namanya “pura dugul”, pura yang dulunya tempat para petani memuja keagungan Tuhan atas limpahan karunia. Di pura itu dulu petani sekadar memanjatkan doa kecil, harapan, dan mengeluh. Kini tempat suci itu sudah mulai usang karena jarang sekali ada berkunjung ke sana. Pura tersebut memang diperuntukkan bagi orang-orang yang bergelut di pertanian bukan bagi para pemilik artshop.
Lalu di mana mereka? Siapa yang merawat dan menjaga pura itu lagi? Akan diapakan pura itu? Tak ada yang tahu. Hanya waktu yang akan menjawab.
Masih teringat di benak saya ketika 200 meter sebelah selatan rumah terdapat hamparan sawah. Meski tak terlalu luas, tanah itu cukup bagi saya bersama teman-teman untuk bermain layangan atau perang-perangan ria dengan lumpur. Sesekali ada teriakan petani marah-marah karena sawahnya dibuat berantakan oleh anak-anak.
Apa yang terjadi sekarang? Hanya berselang beberapa tahun, sawah itu mulai tertutupi restoran kecil. Tak lama kemudian restoran ini berkembang menjadi hotel yang siap menanti para turis beristirahat dan menginap di sana.
Memang restoran dan hotel itu merupakan mata pencaharian baru bagi warga sekitar. Tetapi, sayangnya, lahan itu berpindah tangan dari petani Bali ke pengusaha sukses dari luar. Mungkin itu hanya sekelumit contoh di tengah beralihnya banyak lahan Bali ke pihak orang luar Bali. Kita saat ini tentu saja melihat itu menjadi sebuah berkah yang menakjubkan.
Mengapa tidak, Nang Lecir yang dulu ke sawah tak memakai baju membawa sabit dan bertelanjang kaki sekarang mulai membangun rumahnya. Dia membangun mulai dari sanggah yang sudah berukir dan sekarang sedang di-‘prada’ sampai balai daja gedong rata desain terbaru yang megah dan city car keluaran terbaru untuk anaknya.
Tentu saja ini merupakan sebuah kemajuan. Tidak lagi kuno. Tapi apakah kita sadar bahwa ketika kita beranak atau bercucu nanti, apa yang dapat kita lihat? Mungkin mobil baru Nang Lecir tak lagi semewah dulu dan sudah kelihatan usang. Ukiran megah di sanggah Nang Lecir pun sudah mulai lapuk termakan usia. Terus apalagi yang bisa kita jual?
0 komentar:
Posting Komentar