Minggu, 15 April 2012

Nyepi di Bali Tempo Doeloe

Iklan selamat hari raya Nyepi dari pejabat Gubernur Bali dalam suasana revolusi, dimuat koran Suluh Indonesia edisi Bali (kini Bali Post), Maret 1966. File Darma Putra.
PADA hari Nyepi tahun 1936, ada hal menarik yang terjadi di Bali. Tak jelas di daerah mana terjadi, tetapi begini kisahnya.
Saat itu suasana Bali sunyi sepi. Masyarakat tinggal di dalam rumah. Di jalanan yang beraspal, hanya kelihatan petugas patroli, kini petugas itu disebut dengan pecalang. Kesunyian tiba-tiba pecah karena ada mobil yang mengangkut bulè lewat. Pecalang menghentikan mobil itu. Sang sopir tidak gentar, malah dengan percaya diri dia mengatakan bahwa mereka bekerja untuk KPM.

KPM adalah Koninklijke Paketvaart Maatschappij, perusahan pelayaran Belanda yang mengoperasikan kapal dagang dan kapal wisata di jalur Jawa-Bali-Sulawesi. Perusahaan ini juga pemilik dan pengelola Bali Hotel (Jalan Veteran Denpasar) yang dibangun 1928.
Setelah mendengar bahwa kendaraan itu milik KPM, pecalang mundur ketakutan, mempersilakan kendaraan yang mengangkut bule itu lewat. Pecalang tidak bisa berkutik karena pada zaman kolonial, suka atau tidak, Bali adalah milik Belanda, ‘milik KPM’. Kuasa ada di tangan mereka, tradisi dan budaya dikalahkan.
Kisah Nyepi di Bali tahun 1936 itu dikisahkan antropolog Dr. Margaret Mead. Dialah bulè yang menumpang kendaraan KPM waktu itu. Mead tiba di Bali pas hari Nyepi. Dia didampingi suaminya, Gregory Bateson, juga seorang antropolog.
Hari pertama di Bali, Mead dan Bateson pergi ke Ubud, bertemu Walter Spies, pelukis dan direktur Museum Bali waktu itu. Di sana, Mead dan Bateson bertemu banyak sarjana Barat yang melakukan riset di Bali, antara lain Beryl de Zoete, partner Spies dalam menulis buku Dance and Drama in Bali (1937).
Mead dan Bateson melakukan penelitiannya di Bayung Gede, Bangli, dan tahun 1942 menerbitkan bukuBalinese Character: A Photographic Analysis (Karakter orang Bali, Sebuah Analisis Fotografi).
Revolusi
Suasana perayaan Nyepi di Bali diwarnai suasana sosial politik zamannya. Kalau pada zaman kolonial, kuasa atas budaya dan tradisi ada di tangan pemerintah penjajah, setelah kemerdekaan perayaan Nyepi diwarnai semangat kebangsaan dan revolusi.
Tahun 1960-an, ketika semangat revolusi sedang berobar-kobar, ucapan-ucapan untuk perayaan Nyepi juga berisi kata-kata ‘revolusi’. Hal ini bisa dilihat dari iklan-iklan ucapan selamat Nyepi yang dipasang di surta kabar ketika itu.
Hal ini misalnya bisa dilihat dari iklan selamat Nyepi tahun 1966 dari Gubernur Bali. Iklan itu berisi harapan agar Ida Sang Hyang Perama Kawi melimpahkan harapan-Nya kepada kita sekalian dalam kita menenuaikan tugas dalam memenangkan revolusi kita yang mahabesar untuk mencapai keagungan dan kejayaan Nusa dan Bangsa Indonesia yang adil dan makmur (lihat ilustrasi di atas).
Pesan serupa juga terlihat dalam iklan Nyepi yang dipasang PT GIEB (Gabungan Impor dan Ekspor Bali). Iklan untuk Nyepi 1966 itu berisi ajakan kepada masyarakat menyambut Nyepi dengan ‘prihatin’. Kemudian ditulis: ‘Mari kita tingkatkan kewaspadaan untuk menyelesaikan revolusi guna memenuhi Ampera’. Ampera artinya amanat penderitaan rakyat. Ucapan Nyepi dijadikan arena untuk menyisipkan pesan politik (lihat ilustrasi di bawah).
Iklan Nyepi GIEB yang dimuat koran Suluh Indonesia edisi Bali (kini Bali Post), 29 Maret 1966. File Darma Putra.
Pada zaman dulu, perayaan Nyepi di Bali tidak seragam. Kecuali pada ketentuan amati geni yang biasanya ditandai malam tanpa lampu, konsep amati lelungan (tidak bepergian) ditafsirkan secara berbeda dari satu desa ke desa lain.
Di beberapa desa, warga memang tinggal di rumah saat Nyepi, tetapi di desa lainnya warga ke luar rumah, rame-rame di jalan hanya saja mereka tidak mengendarai mobil, motor, atau sepeda. Nyepi justru dijadikan untuk ngumpul di ruang publik, yang penting tidak mengendarai kendaraan. Anak-anak main kasti atau loncat karet di jalan raya. Kalau ada pecalang, barulah mereka masuk rumah, dan ke luar lagi kalau pecalang menghilang.
Nyepi juga dimanfaatkan pencuri untuk beraksi. Menurut catatan, pada Nyepi tahun 1970, yang jatuh 9 Maret, Toko Djaja Agung di Jalan Gajah Mada Denpasar mengalami kecurian. Toko yang menjual arloji ini kehilangan 89 jam tangan, kerugian ditaksir Rp 200 ribu-300 ribu.
Tetapi, pencuri itu malang. Esoknya, dia ditangkap seorang jaksa di Tabanan karena gerak-geriknya mencurigakan. Pencuri itu menawarkan jam berkualitas baik dengan harga murah. Setelah digeledah, ternyata dia membawa arloji sebanyak jam yang diambil di Toko Djaja Agung.
Sebagai daerah pariwisata, Bali menghadapi banyak cobaan membuat Nyepi berlangsung khidmat.  Kalau kendaraan bisa ditsop, pesawat terbang rada sulit. Pada Nyepi tahun 1969 yang jatuh 20 Maret 1969, misalnya, Bupati Badung dan Gubernur Bali menolak permohonan Garuda terbang pada hari Nyepi, kalau transit saja boleh. Nyatanya, penerbangan yang dianggap sebagai aktivitas dengan koneksitas internasional lama sekali tidak bisa dihentikan ke Bali saat Nyepi.
Akibatnya jelas, pegawai biro perjalanan dan hotel, harus mendapat dispensasi untuk menjemput dan mengantar tamunya ke bandara. Antara 1970-an sampai kira-kira 1990-an, banyak karyawan yang bekerja di sektor pariwisata meminta dispensasi untuk bekerja saat Nyepi. Karena masyarakat yang merayakan Nyepi merasa terganggu, jumlah dispensasi makin ditekan.
Baru sesudah reformasi, sejak tahun 1999/2000, pemerintah daerah dan lembaga masyarakat lainnya bisa mendesak pemerintah untuk menutup Bandar Udara Ngurah Rai saat Nyepi. Kini pelabuhan dan Bandara tutup sepenuhnya untuk semua penerbangan pada hari Nyepi. Tidak akan ada wisatawan seperti Margaret Mead dan Gregory Bateson yang tiba pas Nyepi di Bali.
Dewasa ini, pecalang bisa menertibkan Nyepi dengan optimal antara lain juga karena meningkatnya kesadaran masyarakat untuk Nyepi yang khusyuk dan hening. [b]

0 komentar:

Posting Komentar