Minggu, 15 April 2012

Pembangunan Pariwisata yang Membunuh Subak


Merananya subak dipicu tumbuhnya industri pariwisata di Bali.
Bali memiliki beragam organisasi di bidang-bidang tertentu. Keberadaan organisasi sosial di Bali sangat erat dengan asas kebersamaan dan gotong royong. Sebab, sejak manusia Bali dilahirkan hingga dewasa, mereka tidak terlepas dari aktivitas menyangkut sosial kemasyarakatan.
Oleh karena itu, landasan dasar pada pemikiran-pemikiran maupun pola perilaku manusia Bali pada umumnya terorientasi pada semangat menyama braya. Semangat ini selalu berusaha mengutamakan kepentingan bersama. Hal ini terwujud dalam pengambilan kebijakan suatu organisasi tradisional. Kebijakan diambil melalui musyawarah mufakat untuk memecahkan suatu persoalan.

Organisasi-organisasi tersebut tercermin dalam berbgai unit kegitan kemasyarakatan, seperti desa adat, sekeha, dan subak. Masing-masing terfokus pada bidang-bidang tertentu.
Desa adat berperan mengatur sosial religius masyarakat di suatu wilayah tertentu di Bali. Sekeha memiliki berbagai jenis kegiatan, seperti seni tabuh, seni tari, memanen (manyi) ataupun sekadar sekeha demen (sekadar memenuhi rasa kenyamanan dan kesenangan anggotanya pada bidang tertentu. Sekeha demen ini, misalnya sekeha tuak, sekeha nyuluh, dan sebagainya.
Pola kehidupan masyarakat Bali sejak dulu hingga saat ini dikenal sebagai masyarakat agraris. Namun, saat ini pola ini semakin hari semakin pudar. Masyarakat agraris ini juga memiliki organisasi khas dan terkenal di penjuru dunia yaitu subak.
Subak merupakan sebuah organisasi tradisional di sektor pemanfaatan lingkungan berupa pertanian. Kelompok ini mengelola sistem pengairan yang merata dan teratur di Bali. Sebagai warisan dari zaman Bali Kuna, organisai Subak masih banyak dapat kita jumpai di daerah-daerah pertanian di Bali.
Seiring perkembangan zaman, pola kehidupan masyarakat di Bali pun turut mengalami perkembangan sangat pesat. Tuntutan kebutuhan yang semakin banyak dan beragam membuat masyarakat Bali semakin mengutamakan pendekatan-pendekatan ekonomi. Akibatnya, pembangunan kawasan-kawasan komersial tak terelakkan menyebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan non-pertanian.
Perubahan itu semakin parah dipicu tumbuhnya industri pariwisata di Bali. Industri pariwisata selain menjanjikan pekerjaan atau mata pencaharian baru bagi masyarakat Bali juga membutuhkan sarana dan prasarana baik sebagai jawaban atas kontribusi industri pariwisata bagi masyarakat Bali dan pendatang yang mencari penghidupan di Bali. Sarana dan prasarana itu antara lain hotel-hotel dari yang level layak pakai hingga berlabel bintang lima, restoran, toko-toko kesenian dan jasa di bidang pariwisata.
Terlepas dari perspektif pariwisata, kebutuhan lahan untuk permukiman pun terus mengalami peningkatan. Hal ini karena jumlah penduduk di Bali terus mengalami peningkatan, apalagi dengan datangnya para pekerja dari luar daerah Bali. Pembangunan permukiman baru juga menjadi biang kerok alih fungsi lahan pertanian di Bali. Pembangunan infrastruktur pariwisata dan permukiman tersebut tentu membutuhkan lahan yang tidak sedikit, sehingga menggerus daerah pertanian yang menjadi inti pola kehidupan masyarakat Bali.
Ketika pembangunan infrastuktur penunjang pariwisata dan permukiman tersebut dilakukan pada tahap wajar dan sesuai aturan tentu hal itu tak dapat disalahkan. Namun, masih banyak pembangunan dilakukan tanpa mengindahkan peraturan yang telah ditetapkan. Misalnya, pembangunan di kawasan hijau, pembangunan pada tepi sungai ataupun daerah pesisir pantai tanpa memperhitungkan jarak sempadan yang telah ditetapkan.
Itupun jika proses pembangunannya memenuhi aspek-aspek suistainable architecture dan green architecture. Jika tidak, maka akan berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan yang dapat merugikan masyarakat Bali itu sendiri.
Peranan pemerintah sebagai pemegang kebijakan juga masih lemah dalam pelaksanaan aturan-aturan tersebut. Jika alasan dari segi ekonomi lebih diutamakan, ada saja pembenaran. Sebab, segi ekonomi paling mampu memberi jawaban tegas atas berbagai kebutuhan dan keinganan manusia Bali yang semakin jamak.
Tentu pemasukan dari bidang pariwisata lebih menjanjikan daripada bidang agraris, maka tak heran jika pemikiran generasi muda semakin terpengaruh oleh tipikal-tipikal masyarakat modern. Tentu saja generasi muda lebih memilih pekerjaan lebih layak dengan pakaian necis daripada berkototor-kotor di sawah dengan penghasilan tidak menentu.
Pas lagi buntung, jangankan modal kembali, posisi merugi pun sering dialami oleh petani Bali.
Namun, apakah kita akan terbuai gemerlapnya industri pariwisata tersebut dan meninggalkan secara total warisan budaya adiluhung yang membuat nama Bali terangkat di mata dunia? Sadar atau tidak sistem penataan persawahan dengan sistem subak sebagai pondasinya telah menjadi objek menarik bagi wisatawan untuk datang ke Bali. Sungguh ironis jika hasil sebuah sistem organisasi tradisional yang awalnya menjadi daya tarik bagi pariwisata tersebut justru menghancurkan daya tarik itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar